Hari itu adalah hari yang istimewa. Kami, siswa-siswi kelas 7 SMPN 8 Yogyakarta, akan mengikuti studi wisata ke Pulau Bali, dalam rangka tutup tahun ajaran 2008-2009. Kami akan dibimbing oleh tim Agatour dan beberapa guru. Malam sebelumnya, tanggal 8 Juli 2009, aku sudah menyiapkan segala kebutuhan, mulai dari pakaian, alat mandi, sampai bekal makan dan minum. Hari itu aku sudah siap menghadapi segala kesenangan yang menanti. Aku ingat di pagi hari itu, aku terbangun dengan keadaan setengah sadar. Kuperhatikan di cermin lingkaran hitam terlihat jelas di tempat seharusnya kelopak mataku bertengger. Aku melangkah limbung seperti orang mabuk menuju kamar mandi. Setengah jam kemudian, ibu menggedor pintu kamar mandi seraya memarahiku karena aku masih saja mengulangi kebiasaanku di hari yang istimewa ini. Mandiku memang selalu memakan waktu yang lama, bahkan ibuku sempat mengira aku tertidur di kamar mandi. Akhirnya, semua sudah siap. Pakaian rapi, perut berisi, ransel tersandang di punggung, dan tangan keriput karena terlalu lama mandi.
Tepat pukul 07.45, aku sampai di sekolah dan berkumpul bersama teman-teman. Aku dan teman-teman sekelasku mendapat bus nomor 5, ditambah dengan beberapa anak kelas tetangga, 7-10, dan beberapa dari kelas 7-4. Kami bergegas masuk ke dalam bus, berebut tempat duduk yang nyaman. Aku duduk di sebelah Sheldy, di belakang Adit dan Bintang. Sebelum sopir bersiap tancap gas, Bu Nunuk meng-absen kami terlebih dahulu, siapa tahu ada yang terkunci di toilet. Ternyata benar, salah seorang teman kami belum datang. Sambil menunggu, aku dan Sheldy memperhatikan Ivan yang sedang berusaha bertelepati dengan kakaknya yang berdiri di luar jendela bus. Berulang kali kakaknya berteriak, namun hanya ‘apa?’ dan ‘bisa diulang?’ yang dapat terucap dari mulut Ivan. Akhirnya temanku datang juga, dan bus siap tancap gas. Sayangnya, karena banyak anak perempuan yang mudah mual, Ivan yang semula duduk di depan Adit dan Bintang, terpaksa pindah ke belakang, duduk di ‘kursi goyang’ yang akan selalu menemaninya sampai akhir perjalanan nanti. Selama perjalanan ini, kami berkenalan dengan pendamping bus kami dari Agatour, Pak Panjul.
Pukul 12.30, kami sampai di pemberhentian pertama. Kami makan siang dan sholat dhuhur di RM. Sukowati, Sragen. Setelah cukup kenyang, kami kembali melanjutkan perjalanan. Malamnya, sekitar pukul 19.00, kami singgah di RM. Depot Surabaya, Gempol, untuk sholat dan makan malam. Kali ini, antriannya panjang sekali, aku tak tahan berdiri berdesak-desakan terus, hanya demi seporsi makanan cepat saji. Aku pun memutuskan untuk meninggalkan antrean lalu pergi ke warung terdekat untuk membeli makanan ringan. Sialnya, sekembalinya aku ke rumah makan, antrean bukannya memendek seperti yang kuharapkan, justru semakin panjang, dipenuhi oleh anak-anak kelaparan yang tadinya memilih untuk sholat terlebih dahulu. Untungnya aku bisa makan dan sholat lebih cepat, jadi tidak ketinggalan bus.
Malamnya, perjalanan terasa ganas. Banyak tikungan tajam di sana-sini, berkali-kali jantungku nyaris terlepas ketika melewati tanjakan naik-turun. Namun lama-kelamaan semua goyangan itu mulai terasa biasa, bagai alunan musik kinetik. Tanpa sadar, kelopak mataku mulai mengatup perlahan, lalu seketika yang kulihat hanya gelap, hitam, dan hampa.
Saat terbangun, bus kami sudah parkir di Penyeberangan Ketapang. Saat itu sudah pukul 02.30 dini hari, udara dingin sekali, meski Pak Sopir sudah mematikan AC-nya. Aku sempat heran, mengapa kami tak kunjung diijinkan keluar dari bus, kecuali untuk buang air. Ternyata kapalnya belum datang! Kami pun terpaksa menunggu, entah sampai berapa lama. Karena bosan, aku mondar-mandir di dalam bus dari depan ke belakang, hanya untuk mengganggu temanku yang sedang terlelap atau bercanda dengan yang masih terjaga. Sampai akhirnya, sekitar pukul 04.00 kami diijinkan keluar dari bus.
Sesosok besi raksasa terapung di garis cakrawala yang saat itu berwarna jingga samar, menandakan pagi telah kembali. Aku berdiri, bersandar di pagar pembatas seraya menghirup udara sejuk berembun, dan mendengarkan deburan ombak berdebum menghantam bebatuan. Waktu berlalu begitu saja. Satu setengah jam kemudian, kapal sudah merapat di tujuan, menurunkan jangkar dan menambatkan tali. Kami sampai di Pelabuhan Gilimanuk.
Bus berjalan sampai Soka Indah Restoran, di mana kami dapat mengisi perut kami yang sudah menjerit-jerit, dan mandi pagi jika perlu. Aku memutuskan untuk tidak mandi di sana. Selain karena belum merasa cukup bau, aku juga takut akan membuat antrean menjadi jauh lebih panjang. Seusai sarapan, kami pun melanjutkan perjalanan menuju objek wisata pertama, Tanjung Benoa Watersport. Selain jenis olahraga airnya yang beragam, Tanjung Benoa juga terkenal oleh Pulau Penyu yang terletak tak jauh dari pesisirnya. Aku dan beberapa temanku memutuskan untuk mengunjungi pulau tersebut, dengan ongkos sebesar 35.000 rupiah, kami diantar sampai tujuan dengan speed-boat. Sesampainya di Pulau Penyu kami langsung disuguhi pemandangan berekor-ekor makhluk hijau licin bertempurung. Penyu-penyu berenang di dalam kolam mungil. Dari yang hanya sepanjang lengan, sampai yang sebesar badan orang dewasa, tak ada yang cukup jenak berbaring tak berkutik di sudut kolam. Kami ikut masuk ke dalam kolam dan bermain bersama para kura-kura laut tersebut. Salah satu temanku mencoba mengangkat penyu yang paling besar seorang diri. Awalnya penyu itu berhasil terangkat setinggi lutut, namun langsung terjatuh kembali. Bobotnya memaksa makhluk itu melesak menembus permukaan air, dengan suara ‘byur’ keras, dan terterapkannya teori Archimedes, kami semua basah kuyup dalam sekejap. Setelah foto bersama dan mengucapkan salam perpisahan kepada penyu-penyu, dengan celana yang masih basah, kami berkeliling mengunjungi berbagai hewan menarik lain yang terdapat di Pulau Penyu, mulai dari kelelawar, tupai, iguana, ular, dan bermacam-macam burung. Setelah cukup kenyang dengan menu pemandangan yang disediakan di Pulau Penyu, kami kembali ke pantai untuk benar-benar menikmati makan siang.
Obyek wisata selanjutnya adalah Pantai Kuta, pantai paling terkenal di Bali. Sayangnya, bus kami tidak dapat mengantar sampai ke pantai, jadi kami harus parkir di Central Park dan melanjutkan perjalanan dengan Komotra, sejenis angkutan yang khusus digunakan untuk mengantarkan wisatawan ke Pantai Kuta. Sebenarnya jarak antara Central Park dengan pantai tidak terlalu jauh, namun karena jalan yang kami lewati macet total, butuh waktu cukup lama untuk dapat sampai ke pantai. Situasi ini cukup menyiksa. Belum lagi ukuran Komotra yang terlalu kecil jika dibandingkan dengan jumlah siswa, sehingga kami tak bisa duduk dengan nyaman – itu pun jika mendapat tempat duduk. Sesampai kami di Pantai Kuta, dengan badan pegal-pegal kami memasuki wilayah pantai yang... luas. Ya luas, itu saja. Selebihnya tempat itu adalah taburan tubuh-tubuh manusia di atas selai pasir pantai. Aku merasa seperti kembali lagi ke dalam Komotra yang penuh sesak, hanya saja ini lebih besar dan tak beratap. Ternyata terkenal tak selalu berarti bagus, kami sama sekali tak merasakan kenikmatan yang berarti di pantai ini. Kami hanya dapat mondar-mandir di kerumunan, mengamati aktivitas para turis, berusaha menebak negara asal mereka. Ketika tiba saatnya untuk kembali ke Central Park, kami berjalan cepat-cepat, agar kebagian kursi di Komotra yang berhenti sembarangan di pantai. Sialnya, Komatra pertama yang berhenti sudah penuh, dan aku tak menemukan Komatra yang lain. Aku ketinggalan Komatra, terpisah dari rombongan! Tersesat, aku berlari menerobos gerombolan orang-orang tak kukenal, mencari sebersit saja wajah yang kukenali. Tiba-tiba sesuatu menepuk bahuku, ternyata Nugi, ia juga ketinggalan Komotra. Akhirnya kami berinisiatif menumpang angkutan lain, yang penuh berisi ibu-ibu yang tak henti-hentinya mengobrol satu sama lain. Ibu yang ada di sebelahku sedang berdebat dengan temannya, tentang operator telepon selular mana yang paling murah. Reflek, aku meraba saku kanan celana panjangku... kosong. Lalu semua saku yang lain. Hanya ada dompet yang menyembul dari saku jaketku... HP-ku?? HILANG!!! Sesampainya di Central Park, aku memeriksa seantero angkutan, namun HP-ku belum juga terdeteksi. Akhirnya aku menyerah, dengan wajah kusut, aku berjalan terseok-seok kembali ke bus, masih berusaha pasrah dan tidak menyumpahi orang yang mungkin membawa HP-ku sekarang. Akhirnya bus kembali berjalan menuju obyek-obyek wisata selanjutnya, dan aku berharap dapat melakukan sesuatu yang lebih baik daripada meratapi nasib.
GWK, atau Garuda Wisnu Kencana adalah obyek wisata yang baru di Bali. Patung Dewa Wisnu dan Garuda yang baru 15% selesai itu rencananya akan dibuat lebih tinggi dari patung Liberty, dengan pondasi berupa apartemen mewah. Pada malam hari, wilayah GWK yang bagai labirin itu terlihat sangat menyeramkan. Jika bukan karena ditemani 300 orang lain, mungkin aku akan lari terbirit-birit begitu menatap lorongnya yang kosong dan gelap gulita. Setelah berfoto bersama ukiran batu raksasa itu, aku pun kembali ke bus sambil menjilati es krim ala GWK.
Jangkrik adalah museum kartun yang cukup terkenal di Bali. Di sana kami melihat banyak lukisan dan karikatur yang bagus dan lucu-lucu, dan tak lupa membeli kaos yang keren-keren juga. Namun yang paling menarik di sana adalah band-band siswa yang akan tampil, termasuk D’slash, band kelasku. Aku berteriak-teriak heboh saat D’slash tampil di panggung, mereka main cukup baik, meski vokalisnya, Kiki, sedang tidak enak badan saat itu, sehingga suaranya tidak begitu terdengar. Setelah D’slash, band selanjutnya hanya menampilkan 3 personil; vokalis, gitaris, dan drummer. Gitarisnya bermain cukup bagus, vokalisnya juga lumayan, tapi drummernya... jujur saja, aku lebih baik melahap sepiring penuh mayonnaise bertabur kismis daripada harus mendengarkannya ‘menghancurkan’ drum. Akhirnya permainan drum yang berantakan dan terlampau keras itu selesai juga, dan kami melanjutkan perjalanan ke hotel untuk beristirahat.
Kamarku di Hotel Griya Taman Asri terletak di ujung lorong. Kamar itu tak bisa dibilang luas jika dibandingkan dengan 5 orang remaja yang harus menempatinya. Hanya ada dua kasur besar, sebuah meja rias dan lemari, dan kamar mandi, selebihnya hanya sisa ruang sempit untuk mondar-mandir. Setelah meletakkan barang bawaan, mandi, dan berganti pakaian, aku langsung terlelap tengkurap di atas kasur yang masih berantakan.
Paginya, hal yang paling kukawatirkan pun terjadi. Hampir dua puluh menit kuhabiskan di kamar mandi, padahal teman sekamarku, Ical, belum mandi. Sambil mendendangkan lagu ‘Tak Gendong’, aku bermain air dengan santainya. Tapi segera setelah sebuah botol air minum kosong melayang ke arahku melalui lubang fentilasi, aku sadar kalau ini bukan di rumah dan aku tak punya hak penuh atas kamar mandinya. Akupun cepat-cepat menyelesaikan prosesi paling ganjil dalam hidupku itu, agar kami tak terlambat sarapan. Toh akhirnya aku dan Ical terlambat juga. Syukur kami masih sempat ngebut sarapan.
Pemberhentian pertama hari itu adalah pusat oleh-oleh khas Bali, Cah Ayu. Di sana, kami diceramahi oleh bapak pemilik Cah Ayu. Beliau berbicara panjang lebar tentang tips menjadi orang sukses sepertinya. Selanjutnya kami diijinkan berkeliling toko untuk berbelanja oleh-oleh. Selain arak bali dan brem cair, kami diperbolehkan membeli apapun. Aku mencoba patuh, meski jika bukan karena uang saku yang terbatas, jiwa anak nakalku mungkin akan menyambar beberapa botol arak dan menjejalkannya di bawah tumpukan kacang di dalam keranjang belanjaanku.
Dari Cah Ayu, kami langsung beranjak ke obyek wisata selanjutnya. Beradu dengan waktu, bus melaju ngebut agar tak tertinggal pertunjukan Tari Barong yang sangat khas di Bali. Namun takdir berkata lain, pertunujukan sudah berlangsung saat kami datang. Dengan sebotol air mineral tersandang di saku, aku duduk di deretan tengah penonton, berusaha menikmati pertunjukan yang sudah berlalu setengah jalan. Tari Barong ternyata cukup menarik dan, harus kuakui, sangat lucu. Beberapa temanku mengabadikannya dengan kamera mereka.
Di Puncak Kintamani kudapati diriku berada di obyek wisata paling dingin yang kami kunjungi. Maksudku, benar-benar dingin, bahkan melebihi dinginnya AC yang ada di bus. Di sana kami menyantap makan siang dan sholat dhuhur. Lalu aku duduk di pagar pembatas jalan, mataku terpaku pada pemandangan gunung yang berkabut, tak menghiraukan kaki yang menggigil dan bulu kuduk yang sudah mulai berdiri. Namun aku yakin, setegak-tegaknya bulu kudukku berdiri, pasti lebih tegak punya Nugi dan Deva, teman-temanku yang dengan keberuntungan rendah terpaksa menguji kecepatan lari dan pengetahuan mereka tentang mamalia berkutu, demi melawan hawa dingin.
Selanjutnya kami ke Pasar Seni Sukawati. Pasar kerajinan itu ternyata jauh lebih kecil dan sempit dari yang kubayangkan. Barang dagangannya pun hanya berupa pakaian dan asesoris. Tak tertarik, aku sekedarnya membeli beberapa butir salak bali di depan pasar.
Lalu, pantai lagi... Tapi kali ini, di Pantai Sanur, aku sempat menikmati sentuhan air. Aku berenang di laut bersama beberapa temanku, Shafa, Rifqi, Kiki, Ical, dan Imanuel. Kurasakan segarnya beradu dengan sejuknya buih-buih ombak air laut. Meski sebelum dapat benar-benar berenang di bagian yang cukup dalam, kami harus melewati permukaan dangkal berdasar batu karang dengan gerigi yang menyakitkan kaki. Ketika sedang asyik-asyik berenang, tiba-tiba terdengar teriakan Imanuel dari belakang. Kami cepat-cepat menghampirinya. Ternyata, jemarinya terkena sengatan bulubabi! Dari ibu jari sampai jari tengah, terdapat bercak polkadot berwarna biru tua. Shafa langsung mengusulkan pertolongan pertama yang paling memungkinkan: air kencing. Kebetulan, ia dan Kiki sedang kebelet. Disertai keluhan Imanuel yang semakin menjadi-jadi, Shafa dan Kiki mulai mengucurkan cairan kuning bau itu ke arah jari Imanuel. Bodohnya, ia justru menggerak-gerakkan tangan dengan panik karena jijik, sehingga kedua pancaran kencing malah mengenai lengannya, bahkan tak menyenggol luka sedikit pun. Akhirnya, Imanuel yang masih mengerang-erang dibawa kembali ke pantai dan diobati dengan cara yang lebih layak. Tapi, kami yang pakaiannya basah, entah itu disengaja atau tidak, tak diijinkan berganti pakaian sebelum sampai di hotel, bahkan kami tidak boleh duduk di bus selama perjalanan... Gila! Belum lagi, sebelumnya, ketika berjalan kembali ke bus, kami nyaris diburu anjing gara-gara temanku yang kelewat usil mengganggu seekor anjing. Tadinya aku sempat ingin nekat ganti baju di KFC bersama Nugi dan Gary. Tapi batal, karena aku meninggalkan pakaian gantiku di bus. Untung saja jarak dari Pantai Sanur ke hotel tak terlalu jauh, sehingga aku bisa menahan diri, tak mengumpati siapapun orang yang melarang kami ganti baju.
Ternyata berkemas tak semudah yang kubayangkan. Pakaian kotor berserakan di sana-sini, beberapa benda-benda kecil hilang, dan aku menemukan peralatan mandiku tenggelam di dasar bak mandi. Segera setelah susah payah mengemas barang ke dalam ransel dan menjejalkan pakaian kotor ke kantong plastik besar, aku dan teman-teman segera sarapan dan check out dari Griya Taman Asri.
Ternyata tak hanya Archimedes yang menyertai wisata kami, Charles Darwin pun juga ikut berperan. Kusadari hal ini segera setelah melihat tingkah laku para monyet di Hutan Sangeh. Mereka sangat mirip dengan manusia, yang membedakan mungkin hanya bentuk rangka, ekor, dan peran pisang dalam kehidupan. Sayangnya, kunjungan itu tak berlangsung lama, bahkan aku belum sempat memberi makan monyet satu ekor pun.
Kami makan siang di Restoran Bedugul Indah yang terletak di Danau Beratan. Setelah makan, aku duduk di tepi danau, merasakan ombak pecah di bawah dan membasahi kakiku yang telanjang sambil mengamati temanku, Shafa, memancing. Kuamati Shafa mulai kehabisan kesabaran, berkali-kali tali pancingnya tertarik dan menegang, namun ketika diangkat, hanya kehampaan yang menggantung di kailnya, bahkan umpannya pun lenyap. Lagi dan lagi, proses itu berulang kembali, sampai tiba-tiba Shafa berhenti menarik. Aku berdiri menghampirinya, penasaran mengapa gagang pancing masih tergenggam erat di tangannya. Ternyata reel pancingnya patah! Shafa mulai panik, mereka-reka apakah orang yang menyewakan pancingnya kanibal atau bukan, belum lagi memikirkan uang sakunya yang sudah menipis. Awalnya ia sempat berpikir untuk kabur dari mulut buaya, namun akhirnya ia memutuskan untuk mengaku dan minta maaf. Tapi tentu saja, meski orang yang menyewakan pancing tidak marah, Shafa tetap harus membayar ganti rugi... 100 ribu! Konyol, itu seharga satu pancing utuh, seikan-ikannya malah. Kami mulai berpikir kalau orang yang menyewakan pancing itu menipu. Pertama, harganya memang tak mungkin semahal itu, apalagi kalau cuma reel-nya. Kedua, seharusnya pancing itu masih bisa dibetulkan, tidak harus membeli yang baru. Ketiga, sejelek-jeleknya, pancing seperti itu seharusnya tak mungkin rusak semudah itu, kecuali jika bagian yang patah memang sudah sering terbentur-bentur sebelumnya. Akhirnya, setelah tawar-menawar dengan wajah memelas, Shafa berhasil menyelamatkan 50 ribu dari dompetnya, si penyewa menerimanya dengan keikhlasan palsu. Sisi baiknya, Shafa diperbolehkan menyimpan reel yang patah tadi sebagai kenang-kenangan. Sisi buruknya, ia akan langsung membuang barang yang dianggapnya tak berguna itu saat penyeberangan kapal nanti.
Kami sampai di Pelabuhan Gilimanuk pukul 16.00. Penyebrangan kali ini tak lebih buruk dari sebelumnya, setidaknya kali ini kami tak perlu menunggu berjam-jam. Selain durasi perjalanan yang jauh lebih cepat dan goncangan yang lebih ekstrim, kapal ini memungkinkan kami untuk menikmati pemandangan dari atap kapal, dan menyemangati Shafa yang membuang ‘souvenir’ seharga 50 ribunya. Kami sampai di Pulau Jawa dalam waktu 45 menit, atau jika tak dihitung perbedaan wilayah waktunya... -15 menit.
Setelah perjalanan bus yang panjang, kami makan malam dan sholat di daerah Banyuwangi. Sisa perjalanan kami hanya tinggal perjalanan bus sampai sekolah. Namun pengalaman terindah tak ada hubungannya dengan seberapa banyak kita membayar, atau seberapa jauh kita pergi, melainkan pengalaman yang kita jalani bersama orang-orang yang kita sayangi, ketika kita dapat berkumpul dan bercanda bersama, saling bertukar tawa dan melontarkan senyum dan sapaan. Tak ada yang lebih indah dari keberadaan seseorang yang kita cintai di sisi kita, dalam suka maupun duka, di antara tangisan dan tawa. Kami mungkin mabuk selama perjalanan, namun kami bertukar cerita di saat yang sama. Kami mungkin ketakutan malam-malam berkeliaran di GWK, namun kami juga berfoto dan bergaya bersama di depan patung tersebut. D’slash mungkin tidak bermain cukup baik malam itu, namun kami kompak berteriak dan bercanda mengolok-olok band lain. Aku mungkin mandi terlalu lama saat di hotel, namun saat itu juga kami bernyanyi bersama sambil cekikikan. Kami mungkin terlambat nonton Tari Barong, namun kami toh tetap sempat melotot dan tertawa terbahak-bahak menonton tari yang impresif itu. Kami mungkin basah kuyup dikejar anjing sepulang dari Pantai Sanur, namun kami berlari sambil menenteng sandal besama-sama. Mungkin kami tertipu saat memancing, namun kami membuang sial, eh, reel pancing itu bersama-sama dari atas kapal dan terkekeh menertawakan nasib di bawah langit jingga. Mungkin kesialan datang tak henti di sepanjang jalan, namun selama kami tetap bersama, tak ada saat yang tak indah.
